Mereka Sudah Menang
“Bagaimana para pihak yang berwenang
di kampus ini dengan hebatnya mempertahankan hegemoni dengan memanfaatkan
berbagai cara, mulai dari situasi sampai menggunakan mahasiswa itu sendiri.
Sebuah catatan kurang penting dari pengamatan super-subjektif seorang mahasiswa”
Oke,
musim liburan kembali menyapa para mahasiswa di kampus perjuangan. Waktu-waktu
seperti ini selalu menyenangkan, baik bagi mahasiswa tingkat awal, atau yang
biasa disebut maba maupun tingkat menangah dan akhir. Bagi para maba, ini
adalah waktu dimana mereka sedang dalam proses melepaskan label sebagai orang
baru karena kampus ini sendiri sedang juga dalam proses menyambut orang baru
yang lain. Bagi mereka yang berada di tingkat tengah, waktu ini tentu saja,
paling memenuhi kriteria ‘liburan’ dibanding untuk mahasiswa tingkat lainnya
(saya kebetulan berada di tingkat ini, dan pendapat tadi merupakan 100% yang
saya rasakan) setelah berbagai problema dan haru biru mahasiswa tingkat
menengah, yang biasanya sedang sibuk-sibuknya (kata anak sekarang, hectic) menghadapi hantaman pekerjaan
diantara ombang-ambing ombak kesibukan dan fokus antara nilai akademis maupun non-akademis.
Sementara bagi mahasiswa tingkat akhir, terutama mahasiswa yang sudah wisuda,
ini adalah saat mereka sibuk melayani ucapan selamat atau merayakan pesta
kelulusan sederhana yang dibuat oleh rekan-rekan mereka. Yah, liburan memang menyenangkan.
Akan
tetapi tidak hanya mahasiswa yang menanti saat liburan semester, melainkan juga
pihak berwenang, para pejabat, petinggi atau apapun anda menyebutnya di gedung
Rektorat, dimana melihat fenomena dua tahun ini liburan selalu menjadi momentum
bagi mereka untuk melaksanakan hal-hal yang mereka inginkan, entah itu hal yang
menyenangkan atau tidak bagi mereka, tanya sendiri. Memang terlalu kasar untuk
menyebut momentum liburan semester yang juga menjadi saat penerimaan mahasiswa
baru adalah waktu Rektorat mengeruk uang yang banyak dari iuran uang gedung dan
biaya operasional pendidikan, meskipun memang tahun inipun BOP-B kembali
bermasalah dan BOP untuk mahasiswa parallel sendiri kembali membengkak, bukan,
bukan itu yang akan dibahas disini.
Biarlah para anggota departemen Kastrat maupun Akprop, organ-organ taktis dan
komunitas-komunitas diskusi saja yang membahasnya dalam rangka perjuangan
mereka. Saya sama sekali tidak berniat menjadi teman seperjuangan apalagi
saingan mereka, karena dengan banyaknya teman seperjuangan dan saingan selain
mereka pun, perjuangan mereka sudah cukup berat.
Tahun
lalu, di saat beberapa mahasiswa mungkin baru mengupdate berita bahwa ia telah
mencapai tujuan liburannya, secara kontroversial pihak Rektorat yang diwakili
Bapak Rektor sendiri menganugerahkan gelar Doktor Honoris Clausa kepada Raja
Arab Saudi, seolah tidak memperdulikan berita TKI yang dihukum mati di negara
yang dipimpin si penerima gelar beberapa waktu sebelum penganugerahan tersebut.
Hal ini cukup untuk menjadi peletup yang berimbas kepada munculnya isu tata
kelola UI bagi gerakan-gerakan yang marak terjadi selama paruh kedua tahun 2011
kemarin, mulai dari #saveUI atau #GIE yang lebih mengarah ke sang Rektor sebgai
individu. Bukan, tulisan ini bukan membahas kembali mengenai gerakan-gerakan
tersebut. Entah saya adalah mahasiswa apatis dan kurang pergulan dengan para
aktivis gerakan-gerakan tersebut, tapi menurut saya, gerakan itu sudah basi
sebelum huruf pertama di tulisan ini diketik.
Tahun
ini, seolah taktik itu masih ampuh, pihak-pihak yang berwenang kembali
mengeluarkan sebuah keputusan yang juga tak kalah kontroversial, yaitu
pengunduran jadwal pemilihan Rektor yang membuat semua biaya cetak poster
publikasi mengenai agenda ini menjadi sia-sia. Pemlihan yang seharusnya
dilaksanakan bulan Juli akhirnya ditunda, hingga saat yang tidak ditentukan.
Sejauh ini, saya hanya mengikuti perkembangan isu ini dari obrolan dengan
beberapa orang dan tweet dari akun
pers mahasiswa Suara Mahasiswa.
Tentu
saja yang menarik disini adalah bagaimana selama dua tahun berturut-turut
pihak-pihak yang berwenang di gedung sana memanfaatkan libur panjang semester untuk
mengeluarkan keputusan yang dirasa mungkin akan memancing gerakan-gerakan
mahasiswa yang akan mengganggu pelaksanaan keputusan tersebut. Mungkin mereka
memanfaatkan bagaimana beberapa mahasiswa merasa jenuh dengan kegiatan
kemahasiswaan mereka di kampus dan mencoba lari sejenak ke tempat-tempat
pariwisata, atau bagaimana kerinduan mahasiswa perantauan terhadap hidangan
gratis berkualitas di rumah mereka yang menjadi selingan hidangan mahal seadanya
di tempat mereka menuntut ilmu.
Tapi,
mari lihat lebih jelas, hal itu cuma salah satu bentuk hegemoni para pihak
berwenang untuk mencengkeram mahasiswa agar tidak bergerak sesuai keinginan
mereka. Lihatlah bagaimana waktu untuk lulus dibatasi, bagaimana dana kegiatan
mahasiswa dipersulit turun yang membuat para mahasiswa pulang malam demi mengumpulkan
uang seceng demi seceng utuk sekedar menyewa peralatan yang mereka butuhkan untuk
acaranya atau bagaimana berbagai pekerjaan dari departemen masing-masing dengan
imbalan uang selalu menggiurkan mahasiswa. Lalu dimanakah celah bagi para
aktivis itu untuk melakukan pencerdasaan yang sekedar bertujuan membangkitkan
kesadaran teman-temannya yang sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing?
Para
mahasiswa dan mahasiswi itu tidak akan perlu memperdulikan gerakan-gerakan
diatas jika memang gerakan tersebut tidak mengganggu mereka, atau gerakan itu sendiri
tidak memberi kelancaran pada kegiatan mereka. Tidak, tentu saja ini tidak bisa
semata-mata disebut ‘apatis’, terutama jika melihat kenyataan bahwa mahasiswa
saat ini memang sudah punya kewajiban masing-masing sesuai dengan kesibukannya.
Pertanyaanya cuma satu, kenapa mereka harus sadar akan permasalahan di kampus
mereka jika semua kegiatan mereka berjalan seperti biasa?
Lihatlah
bagaimana spanduk yang “BESAR” hanya akan diingat sebagai pemandangan sementara ketimbang mengingatkan bahwa ada masalah yang lebih besar di UI, atau #UIGue yang kalah
sering diupdate mahasiswa ketimbang
#nomention. Rasanya agak lucu sekaligus mengenaskan jikalau dua-duanya hanya
bernasib seperti pin #saveUI yang saya juga telah lupa dimana tempat
menaruhnya.
Apa
boleh buat kawan, terima saja, Rektorat sudah menang, sebelum massa aksi
pertama meneriakkan jargon “Hidup Mahasiswa!” di depan gedung mereka.
Depok, 2 Juli 2012 Pukul 18.32